“ANALISIS KEBIJAKAN
PENDIDIKAN”
Disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dosen Pembimbing :
Abdul Rohman,S.Ag.M.A
| |
|
Disusun oleh
Nuryani
Tri Murni
Afifatunnisa
Haryanta
SEKOLAH TINGGI ILMU
TARBIYAH MUHAMMADIYAH WATES
Jalan Jambu 1, Wonosidi
Lor, Wates, Kulon Progo, Yogyakarta
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk
menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu
negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap lembaga pendidikan tidak
akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan dalam
negera tempat lembaga pendidikan itu ada.
Di Indonesia,
yang merupakan negara hukum juga menitikberatkan
sektor pendidikan sebagai wahana untuk memajukan negaranya. Bagaimana tidak?
Kebijakan demi kebijakan dibongkar pasang untuk menghasilkan kualitas
pendidikan yang optimal, meski realitanya masih jauh dari harapan.
Dimulai dari kebijakan pengalokasian 20% APBN untuk anggaran
pendidikan yang sampai saat ini masih belum 100% terlaksana, hingga kurikulum
yang berubah-ubah. Inkonsistensi pemerintah dalam memutuskan kebijakan
pendidikan sering menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di masyarakat dan
dunia pendidikan.
Tuntutan paling mendesak dalam memacu pembangunan pendidikan yang
bermutu dan relevan ialah peningkatan kemampuan dalam melakukan analisis
kebijakan. Para analisis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut
untuk menguasai isu-isu pendidikan yang relevan baik isu pendidikan secara
internal maupun isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral.
Dalam makalah kami ini, kami hendak memaparkan analisis kebijakan
pendidikan di Indonesia berikut permasalahan-permasalahan kebijakan pendidikan
yang masih menjadi trending topic di dunia pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari analisis kebijakan pendidikan?
2.
Siapakah aktor analisis kebijakan pendidikan itu?
3.
Seperti apakah ruang lingkup analisis kebijakan pendidikan?
4.
Pendekatan seperti apa yang digunakan untuk melakukan analisis
kebijakan?
5.
Bagaimanakah metode analisis kebijakan pendidikan?
6.
Permasalahan seperti apa saja yang dihadapi Indonesia terkait
mengenai kebijakan pendidikan
C.
Tujuan Penulisan
1.
Memahami pengertian dan hakikat analisis kebijakan pendidikan
2.
Mengetahui aktor analisis kebijakan pendidikan.
3.
Mengetahui ruang lingkup analisis kebijakan pendidikan.
4.
Mengetahui pendekatan apa saja yang digunakan untuk melakukan
analisis kebijakan pendidikan
5.
Mengetahui metode analisis kebijakan pendidikan.
6.
Mengetahui permasalahan-permasalahan dalam kebijakan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur berpikir yang sudah
lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia, paling tidak sejak manusia
mampu melahirkan dan memelihara pengetahuan dalam kaitannya dengan tindakan.
Beberapa ahli memiliki pengertian yang berbeda dalam mengartikan
analisis kebijakan, diantaranya:
1.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia analisis adalah (1) penyelidikan thd suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb)
untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb);
(2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya
dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh
pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan[1]
2.
Dunn : mengungkapkan bahwa analisis kebijakan adalah suatu prosedur
untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut
tindakan pemecahannya[2].
3.
Patton : analisis kebijakan
adalah suatu rangkaian proses dalam menghasilkan kebijakan.
4.
Duncan MacRae : analisis kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu
sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan
fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pikiran dalam rangka
upaya memecahkan masalah publik.
5.
Stokey dan Zekhauser : analisis kebijakan sebagai suatu proses
rasional dengan menggunakan metode dan teknik rasional.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita tarik pengertian yang
lebih rinci bahwa analisis kebijakan merupakan cara atau prosedur dalam
menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk memecahkan masalah-masalah
kebijakan. Jadi analisis kebijakan pendidikan merupakan cara memecahkan masalah
yang ada dalam kebijakan-kebijakan tentang pendidikan menggunakan pemahaman
yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
B.
Aktor Analisis Kebijakan Pendidikan
Sejak berdirinya badan penelitian dan pengembangan di lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada permulaan tahun 1970-an, berbagai
bentuk kegiatan penelitian, penilaian, dan pengembangan pendidikan telah banyak
dilakukan untuk menunjang proses pembuatan keputusan. Badan ini terus
berkembang dengan pesat, khususnya dalam memberikan masukan pemikiran terhadap
proses pembangunan pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan secara
sistematis sejak Repelita I. Badan ini terus berperan dalam melahirkan berbagai
gagasan pembaharuan pendidikan sehingga proses pembangunan pendidikan telah
melewati masa-masa yang penuh tantangan.[3]
Para analisis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut
untuk menguasai teknik-teknik penelitian dan pengembangan tetapi juga dituntut
untuk menguasai isu-isu pendidikan yang relevan baik isu pendidikan secara
internal maupun isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral.
Isu-isu pendidikan secara nternal akan meliputi sistem pendidikan
berikut komponen-komponennya yang integral, seperti pendidikan dasar (berfungsi
menanamkan kemampuan dasar), pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pendidikan profesional, pendidikan luar sekolah, serta komponen-komponen
penunjang sisitem pendidikan.
Isu-isu pendidikan secara eksternal, yang juga sangat penting untuk
terus dikaji oleh para analisis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang integral
antar pendidikan dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang seperti
politik, ekonomi, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, serta kehidupan sosial
budaya.
Dalam kaitannya dengan hal-hal di atas suatu lembaga penelitian dan
pengembangan pendidikan perlu mencurahkan perhatiannya untuk memenuhi tantangan
yang dimaksudkan. Kemampuan lembaga penelitian dan pengembangan dalam
melaksanakan analisis kebijakan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan
gagasan-gagasan pembaharuan berdasarkan isu-isu yang realistis dan sesuai
dengan tuntutan zaman, tetapi yang sama pentingnya ialah kemampuan dalam
mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang dihasilkan tersebut agar benar-benar
terwujud dalam bentuk kebijakan pemerintah yang dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Dalam sejarahnya, badan ini terus meningkatkan fungsinya sebagai
badan pembaru sistem pendidikan nasional. Dari periode Repelita I berikutnya,
pergeseran fungsi badan ini semakin terasa terutama dalam menjalankan fungsinya
mempersiapkan bahan kebijakan jangkah menengah dan jangka panjang.
Di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, proses
pengambilan kebijakan public telah diatur baik oleh Undang-undang No. 2 Tahun
1989, Peraturan Pemerintah maupun kebijakan Depdikbud itu sendiri. tentang
proses pelaksanaan analisis kebijakan sebagai suatu sistem telah diungkapkan
secara sistematis oleh Penelaah sektor Pendidikan, yang dilaksanakan oleh
Balitbang—Depdikbud bekerjasama dengan proyek IEES (Improving the Efficency
System Project) pada tahun 1986.
Salah satu lembaga penelitian yang melakukan analisis kebijakan
pendidikan yakni Smeru. Smeru adalah sebuah lembaga penelitian independen yang
melakukan penelitian dan pengkajian kebijakan publik secara profesional dan
proaktif, serta menyediakan informasi akurat, tepat waktu, dengan analisis yang
objektif mengenai berbagai masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan yang dianggap
mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.[4]
C.
Ruang Lingkup Analisis Kebijakan Pendidikan
Ruang
lingkup kegiatan analisis kebijakan pendidikan meliputi:
1.
Pengumpulan data statistik pendidikan
2.
Pengembangan kurikulum.
3.
Sistem pengujian
4.
Penelitian pendidikan dan kebudayaan.
5.
Teknologi komunikasi pendidikan.
6.
Pengembangan analisis kebijakan pendidikan dan kebudayaan.
Kegiatan yang terakhir yakni kegiatan pada nomor 6 berfungsi untuk
menyiapkan bahan-bahan rumusan kebijakan pendidikan, baik kebijakan jangka
panjang, menengah, dan jangka pendek, maupun bahan-bahan untuk kebijakan
departemen yang setiap saat diperlukan oleh pengambil keputusan.
Salah satu fungsi paling menonjol dari Badan Penelitian dan
Pengembangan adalah Analisis dan Perumusan Bahan Kebijakan dengan tujuan
untuk membantu pemerintah dalam menyiapkan dan merumuskan bahan-bahan kebijakan
sesuai dengan isu-isu penting pendidikan yang berkembang dalam dunia
penelitian, pengembangan, dan masyarakat luas.
Dalam
suatu proyek yang dinamakan Proyek Perencanaan dan Kebijakan Pendidikan (Education
Policy and Planning Project) atau proyek EPP yang mendapat bantuan USAID (The
United States Agency for International Development). Proyek tersebut resmi
dilaksanakan pada bulan Juli 1984 dengan tujuan pokok: “meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia melalui perumusan kebijakan dan perencanaan yang lebih
baik yang didasarkan pada informasi yang lebih lengkap dan teliti serta metode
analisis yang lebih baik terhadap informasi tersebut.”
Sejak
dilaksanakannya proyek tersebut, berbagai upaya telah dilakukan khususnya dalam
melakukan identifikasi terhadap berbagai masalah pendidikan sebagai sasaran
dalam melakukan analisis kebijakan. Sejak saat itu analisis kebijakan
dilaksanakan melalui koordinasi di antara berbaga unit di lingkungan Depdikbud.
Hasilnya adalah usulan-usulan kebijakan yang sangat berguna dalam mempersiapkan
Rumusan kebijakan Tahunan Mendikbud dan Naskah Repelita.
D.
Pendekatan Analisis Kebijakan Pendidikan
Dalam literatur analisis kebijakan, pendekatan dalam analisis
kebijakan pada dasarnya meliputi dua bagian besar, yaitu pendekatan deskriptif
dan pendekatan normatif.
1.
Pendekatan deskriptif adalah suatu prosedur atau cara yang
digunakan dalam penelitian pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan
murni maupun terapan, untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi di dalam
masyarakat. Istilah yang digunakan oleh Cohn mengenai pendekatan deskriptif ini
adalah pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan
dalam menyajikan suatu State of Art atau keadaan apa adanya dari suatu
gejala yang sedang dteliti dan yang perlu diketahui oleh para pemakai.[5]
Tujuan pendekatan deskriptif dalam analisis kebijakan ialah agar para pengambil
keputusan memahami permasalahan yang sedang disoroti dari suatu kebijkan.
2.
Pendekatan normatif yang sering juga disebut pendekatan preskriptif
merupakan upaya dalam ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu norma, kaidah
atau “resep” yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka memecahkan masalah.
Tujuan pendekatan ini adalah membantu mempermudah para pemakai hasil penelitian
dalam menentukan atau memilih salah satu dari beberapa pilihan cara atau
prosedur yang paling efisien dalam menangani atau memecahkan suatu masalah.
Dengan norma tersebut diharapkan para pemakai hasil penelitian memperoleh
manfaat yang lebih besar dari kegiatan penelitian dalam ilmu pengetahuan,
khususnya dalam memecahkan masalah-masalah sosial atau kemasyarakatan. Informasi
yang bersifat normatif ini oleh Penelaah Sektor Pendidikan Balitbang-Depdikbud
1986 disebut informasi teknis, karena merupakan hasil analisis data berdasarkan
informasi yang berkaitan dengan suatu isu kebijakan yang sedang atau ingin
disoroti.
E.
Metodologi Analisis Kebijakan Pendidikan
Secara metodologis, analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi dua
bagian besar, yaitu metodologi kuantitaif dan kualitatif.
Hampir dapat dipastikan bahwa pendekatan dalam analisis kebijakan
seluruhnya bersifat kualitatif. Hal ini karena analisis kebijakan pada dasarnya
merupakan suatu proses pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga proses
pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga dapat melahirkan suatu gagasan
dan pemikiran mengenai cara-cara pemecahannya.
Metodologi kualitatif dalam analisis kebijakan lebih tertarik untuk
melakukan pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah-masalah kebijakan
daripada melihat permasalahan kebijakan untuk kepentingan generalisasi.
Metodologi kualitatif lebih suka menggunakan teknik analisis mendalam (in
dept analysis) yaitu mengkaji masalah kebijakan secara kasus per kasus
karena metodologi kualitatif ini yakin bahwa sifat masalah yang satu akan
berbeda sifat masalah yang lain. Yang dihasilkan dari metodologi kualitatif ini
bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman yang mendalam terhadap suatu
masalah.
Metodologi kuantitatif pada dasarnya merupakan bentuk yang lebih
operasional dari paradigma empirisme yang sering juga disebut pendekatan
“kuantitatif-empiris”. Pada dasarnya pendekatan kuantitatif ini tertarik dengan
pengukuran secara obyektif terhadap masalah sosial. Untuk dapat dilakukan
pengukuran, setiap masalah sosial terlebih dahulu dijabarkan ke dalam beberapa
komponen masalah, indikator, dan
variabel-variabelnya. Tujuan utama metodologi kuantitatif ini bukan menjelaskan
suatu masalah, tetapi menghasilkan suatu generalisasi. Generalisasi adalah
suatu pernyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu
masalah kebijakan yang diperkirakan akan berlaku pada suatu parameter populasi
tertentu. Dengan generalisasi yang dihasilkan ini, para peneliti atau analisis
kebijakan dituntut dapat menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat
diterapkan secara menyeluruh dalam lingkup yang lebih luas. [6]
F.
Permasalahan-permasalahan Kebijakan Pendidikan di Indonesia
1.
Sistem pendidikan nasional dalam era otonomi daerah.
Dengan adanya UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem
pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sistem pemerintahannya sendiri guna mensejahterakan masyarakat di
daerahnya.[7]
Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20
tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara, orang tua,
masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat
pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah
daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang
berusia 7-15 tahun.
Telaah kritis sistem pendidikan nasional dalam era otonomi daerah
diarahkan kepada beberapa sektor dengan harapan dapat terlihat di bagian mana
pendidikan nasional dikembangkan dan bagian mana pendidikan yang terkait dengan
otonomi daerah dapat diangkat, diantaranya:
a.
Format Pendidikan Nasional
Format pendidikan nasional yang menerjemahkan bahwa pemerintah
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional seharusnya direformasi
pemahamannya dari pendidikan yang sentralistik ke pendidikan yang demokratik,
dari pendidikan yang uniform ke arah pendidikan yang diversifikatif, dari satu
ukuran hasil pendidikan ke arah ukuran masing-masing sesuai dengan keadaan anak
baik budaya, sosial, dan psikologi yang berbeda. Oleh karena itu sistem
pendidikan yang pantas diatur secara nasional hanya meliputi, hal-hal:
1)
Kesamaan jenjang pendidikan yakni TK, SD-SLTP, SMU, dan Perguruan
Tinggi.
2)
Jenis pendidikan sebatas pada pendidikan umum dan pendidikan
kejuruan.
3)
Kesamaan kurikulum yang memiliki perekat terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan.
b.
Diversifikasi Pendidikan
Jenis
pendidikan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, meskipun
masih tetap berada dalam naungan pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Macam
prrogram pendidikan lebih lanjut dari pendidikan umum dan pendidikan kejuruan
itu diselenggarakan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Selain
diversifikasi dalam jenis pendidikan dapat diberlakukan pada kurikulum,
penyelenggaraan pendidikan, cara pembelajaran, dan pemanfaatan sumber belajar.
Kurikulum yang terbaik diberlakukan pada daerah tertentu selain
kurikulum yang dianggap memiliki perekat terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara, dapat ditentukan oleh masing-masing bahkan oleh sekolah. Yang
penting kurikulum itu memiliki muatan tuntutan sesuai dengan kebutuhan anak,
kebutuhan orang tua dan kebutuhan masyarakat lokal maupun masyarakat global.[8]
Penyelenggaraan penddikan menjadi bagian terpenting untuk
diotonomikan, disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak baik budaya, sosial,
dan psikologi mereka, serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dan
lingkungan nyata anak masing-masing.
Untuk itu otonomi daerah jangan hanya sekedar diwujudkan sebagai
pengalihan kekuasaan pusat ke daerah, akan tetapi harus mencerminkan kehidupan
demokrasi bangsa yang terwujud dalam penyelenggaraan pendidikan nasional kita
sebagai bangsa yang merdeka. Berdasarkan pertimbangan itu maka otonomi
penyelenggaraan pendidikan yang diwujudkan dalam “School Based Management” (SBM).
Di negara kita SBM jangan diartikan sebagai otonomi dalam
pengelolaan dana, karena kehidupan rakyat bangsa kita masih berada di bawah garis
ambang ekonomi normal. Tekanan utama SBM adalah pemberian otonomi dalam
penyelenggaraan akademik setiap lembaga pendidikan di negara kita. Pendidikan
yang mendasarkan pada SBM memberi peluang anak-anak kita terlatih hidup
kontektual sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing anak.[9]
Pendidikan yang kontekstual itu menuntut adanya proses pembelajaran
yang berorientasi kepada“Community Based Education” (CBE) yang
menggunakan kenyataan hidup masyarakat sebagai pengalaman belajar mereka.
Pendidikan kontekstual memerlukan dukungan kemerdekaan memafaatkan lingkungan
anak masing-masing menjadi sumber belajar dan cara pembelajarannya. Oleh karena
itu “juklak” dan “juknis” yang bersifat uniform diberlakukan bagi semua
lingkungan yang berbeda jelas tidak menguntungkan.
c.
Orientasi Pembelajaran
Orientasi pembelajaran juga harus diubah dari pendekatan “tekstual”
ke arah pendekatan “faktual”. Pembelajaran yang berorientasi “tekstual” hanya
menghasilkan manusia-manusia penghafal dan hanya menghasilkan manusia-manusia
penjiplak ilmu dan teknologi yang meniadakan kreativitas. Pembelajaran yang berorientasi faktual
membimbing anak-anak kita terlatih bergaul dengan kenyataan kontekstual dengan
lingkungan hidup mereka, dengan demikian mereka mampu mendeteksi unsur-unsurnya,
mampu mengonseptualisasikan makna dari kenyataan itu, dan di sinilah mereka
memperoleh kemampuan dan pengetahuan dar hasil kegiatannya sendiri.
Terkait dengan masalah pembelajaran ini, UNESCO telah merumuskan
empat pilar belajar, yakni : learning to know, learning to to do, learning
together, and learning to be yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menerapkan aktivitas pembelajaran siswa. Di negara kita di antara empat pilar
belajar itu yang kita laksanakan baru “learning to know” . Hal ini karena
bangsa kita kliru dalam menyikapi ilmu dan teknologi. Kita menempatkan diri
menjadi konsumen ilmu dan teknologi dari produsen dengan sistem pembelajaran delivery
sistems bukan discovery dan inquiry. Sehingga membuat
pemahaman terhadap ilmu bagi bangsa kita adalah ilmu-ilmu masa lampau dengan
memperbesar dominasi kekuatan hafalan, bukan kreativitas. Padahal hafalan hanya
didukung IQ yang hanya mendukung keberhasilan nilai, sedangkan keberhasilan
hidup di masyarakat sangat ditentukan oleh CQ, EI, dan AQ yang menuntut
anak-anak kita memerlukan sosialisasi dengan dunia kehidupan nyata. Oleh karena
itu otonomi daerah diharapkan mampu mereformasikan kegiatan pembelajaran yang
satu arah menjadi sistem pembelajaran yang banyak arah dengan lebih
memerdekakan penyelenggara dan pelaku pendidikan.
d.
Ukuran keberhasilan belajar
Hasil belajar yang diukur dengan satu alat ukur seperti sekarang
ini hanya akan menghasilkan ukuran semu. Ukuran hasil belajar yang realistik adalah
yang didasarkan kepada apa yang benar-benar dipelajari anak melalui pikiran,
pengindraan, konseptualisasi dan kesimpulan sendiri yang dapat disajikan dalam
bentuk dokumen karya siswa dan dijadikan kumpulan hasil evaluasi kemajuan anak.
Ukuran keberhasilan pendidikan seharusnya tidak hanya ditentukan
oleh kualitas “out put” akan tetapi harus diukur dari kualitas “out
come” yakni keberhasilan anak-anak kita dalam meraih kehidupan nyata
berdasarkan tingkat pendidikan mereka. Bila diperhatikan sekarang ini maka “out
come” hasil pendidikan kita hanya mampu menawarkan ijazah untuk meraih
kehidupan, mereka tidak mampu mandiri dan bahkan tidak memiliki jati diri.
Masyarakat kita masih berada pada tingkatan “paper syndrome”.
Persoalannya adalah seberapa tanggap daerah dalam era otonomi
daerah ini mampu menangkap isyarat kelemahan pendidikan yang terjadi selama
ini, untuk tidak mewarisi dan diteruskan dalam membangun pendidikan daerah
tetapi sebaliknya daerah mampu membuka lembaran baru mengusahakan pendidikan
kita menjadi barang nyata, berguna bagi bangsa dalam peningkatan profil manusia
Indonesia dan SDM bangsa demi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat.
e.
Penghambat pendidikan
Bangsa ini terlalu ambisius ingin menyamakan pendidikan di seluruh
nusantara dengan sistem sentralisasi dan uniformitas. Kita sendiri ingkar
terhadap wawasan kita sendiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
memiliki keanekaragaman baik lingkungan, suku, bahasa, kebiasaan yang
diwujudkan dalam tatanan sosial dan budaya.
Akibat dari keragaman keadaan bangsa ini maka terbukti sentralisasi
dan uniformitas pendidikan hanya menghasilkan kemunduran dalam perjalanan
sejarah bangsa bila dibandingkan dengan kemajuan bangsa-bangsa lain di sekitar
kita.
Pengakuan kita terhadap keanekaragaman bangsa tidak diimbangi
dengan diversifikasi penyelenggaraan pendidikan kita, kurikulum kita, sistem
managemen penyelenggaraan pendidikan kita dan pengukuran terhadap hasil
pendidikan kita. Kesemuanya itu membuat penyelenggara pendidikan kita tidak
kreatif dan inovatif, dan akhirnya pendidikan kita beku yang hanya menghasilkan
manusia tergantung.
f.
Otonomi pendidikan dalam otonomi daerah
Otonomi daerah memberi konskuensi upaya peningkatan kualitas
pendidikan menjadi tanggung jawab daerah. Meskipun demikian, maka tidak berarti
daerah harus terlalu banyak terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Daerah
dapat memikirkan hal-hal : mencarikan model yang cocok dengan pendidikan
daerahnya, memfasilitasi dana, prasarana dan sarana pendidikan, menyiapkan
pedoman pendidikan bagi sekolah yang membutuhkan.
2.
Kontroversi Ujian Nasional (Unas)[10]
Mendiknas Bambang Sudibyo telah bersikeras menyelenggarakan Ujian
Nasional (Unas) sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang telah dihapus
itu. Dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu 19 Januari 2005 Bambang Sudibyo
menegaskan, bahwa Unas diperlukan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta
didik pada setiap jenjang pendidikan. Pada kesempatan itu Mendiknas menargetkan
standar nilai ujian nasional dari 4,01 menjadi 4,25.[11]
Kebijakan itu memicu polemik dari beberapa kalangan pakar dan
praktisi pendidikan kita yang sebelumnya telah menyepakati bersama pemerintah
untuk menghapus UAN. Sebab pada prinsipnya penyelenggaraan UAN yang sentralistik,
di samping bersebrangan dengan konsep otonomi pendidikan dan rentan terhadap
intervensi kepentingan negara, juga berakibat pada pengabaian nilai-nilai khas
kultural di beberapa wialayah di Indonesia.
Pelaksanaan ujian secara nasional yang diselenggarakan oleh
pemerintah (Diknas) itu memakai istilah berbeda. Jika sebelumnya menggunakan
nama Ujian Akhir Nasional (UAN) yang kemudian dihapus, karena usulan beberapa
pakar dan praktisi pendidikan kita, maka ke depan rencananya akan tetap
dilaksanakan dengan menggunkan nama Ujian Nasional (Unas). Kontroversi UAN
menjadi Unas itu, di samping mengundang masalah secara konstitusional, juga
terkesan hanya sekedar perubahan label saja. Meskipun namanya bereubah menjadi
Unas, tetapi substansinya sama.[12]
Pelaksanaan Unas dimulai dalam dua perode. Periode pertama untuk
tingkat SLTP yang mulai diselenggarakan pada 6-8 Juni dan 13-15 Juni 2005.
Sedangkan untuk tingkat SLTA diselenggarakan pada 9-11 Mei dan 16-18 Mei 2005.
Pada periode kedua, untuk tingkat SLTP diselenggarakan pada 3-5 Oktober 2005.
Dan, untuk tingkat SLTA diselenggarakan pada 10-12 Oktober 2005.
Pada Kamis, 30
Juni 2005, pengumuman hasil Ujian Nasional (Unas) di kota pelajar, Yogyakarta.
Sebanyak 18.657 siswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinyatakan tidak
lulus Ujian Nasional.[13]
Padahal Yogyakarta selama ini menjadi ikon sekaligus barometer pendidikan di
Indonesia. Apakah yang demikian bukan suatu ironi?
Di Solo, angka
ketidaklulusan siswa dalam menempuh Ujian Nasional stingkat SMP/SMA sebanyak
20%. Sementara di Bengkulu tercatat paling parah. Sebanyak 50% siswa setingkat
SMP?MTs/SMA/SMK dinyatakan tidak lolos Ujian Nasional. Angka sebesar 50% tersebut mewakili sekitar
18.095 sisiwa dari berbagai jenjang pendidikan. Dan yang paling menyedihkan
adalah nasib SMP Terbuka di Bengkulu yang mencapai 94% tidak lulus.[14]
Sebuah evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menunjukkan bahwa berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) 2012,
kualitas pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati peringkat
terendah di Indonesia. Lembata merupakan sebuah kabupaten di NTT yang dianggap
sangat membutuhkan bantuan di bidang pendidikan karena sebagai daerah baru
(hasil pemekaran dari sebagian wilayah Kabupaten Flores Timur) Lembata masih
jauh tertinggal dalam hal pembangunan sektor pendidikan.[15]
Kebijakan Unas lebih kentara ambisius dan idealis ketika menawarkan
standar nilai 4,01 menjadi 4,25. Hal itu tentunya sangat memberatkan beberapa
pihak, terutama pihak sekolah dan murid-muridnya. Sebab untuk mencapai nilai
standar minimal 4,01 saja sudah harus melalui perjuangan berat, apa lagi untuk
mencapai satandar minimal 4,25. Pemerintah rasanya kurang bijak dalam melihat
kemampuan masing-masing daerah dalam mengelola pendidikan. Standarisasi nilai
4,25 jelas sangat sentralistik dengan menggeneralisis kemampuan dan potensi
masing-masing daerah. Padahal setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Analisis kebijakan pendidikan merupakan cara memecahkan masalah
yang ada dalam kebijakan-kebijakan tentang pendidikan menggunakan pemahaman
yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
2.
Aktor yang melakukan analisis kebijakan pendidikan adalah lembaga
penelitian dan pengembangan yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayan serta lembaga penelitian independent seperti SMERU.
3.
Ruang lingkup analisis kebijakan pendidikan meliputi pengumpulan
data statistik pendidikan, pengembangan kurikulum, sistem pengujian, penelitian
pendidikan dan kebudayaan, teknologi komunikasi pendidikan, dan pengemabangan
analisis kebijakan pendidikan dan kebudayaan.
4.
Pendekatan analisis pendidikan yakni pendekatan deskriptif dan
normatif.
5.
Metode analisis kebijakan pendidikan yaitu metode kualitatif dan
kuantitatif.
6.
Permasalahan kebijakan pendidikan di Indonesia diantaranya adalah
sistem pendidikan di era otonomi daerah yang masih menggunkan alat ukur berupa
ujian nasional atau unas.
B.
Saran
Seyogyanya analisis dalam bidang pendidikan harus selalu dilakukan
karena pendidikan di Indonesia masih jauh dari tujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD alinea IV.
C.
Penutup
Alhamdulillah makalah ini dapat kami selesaikan dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Pendidikan. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pemakalah pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
KBBI offline 1.3
Djohar.M.S.(2006). Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong
Masa Depan. Yogyakarta: CV Gravika Indah.
Mu’arif.Liberalisasi
Pendidikan.(2008).Yogyakarta : Pinus Book Publisher.
Suryadi, Ace dan H.A.R Tilaar. (1993). Analisis Kebijakan
Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Bernas Jogja, 1/7/2005
__________, edisi 25/1/2005
Jawa Pos, 1/7/2005
Kompas, 20/1/2005
SMERU Lembaga Penelitian Smeru edisi 33/12/2012
http:// addie120212.blogspot.com diakses pada tanggal 21
Februari 2014
[2] Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan
Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1993)hlm.40
[3]Ibid,.hlm.5
[4]http://smeru.or.id diakses pada
tanggal 25 Februari 2014
[5]Ace Suryadi dan
H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, hlm.46
[6]Ibid.,hlm. 48-49
[8]Djohar.M.S, Pengembangan
Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: CV Gravika Indah,2006).hlm.222
[9]Ibid.hlm.224
[14] Jawa Pos, 1/7/2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar