PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Ditsusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Mashail Fikh
Dosen
Pengampu : Afwan Zuhdi S.Ag,M.A
oleh :
Ari Ambarwati 11-01-1345
Enjang wikantini 11-01-1355
Murni Caturwati 11-01-1369
Naini Rohmah SJ 11-01-1373
Sumaryani 11-01-1394
SEKOLAH TINGGI ILMU
TARBIYAH MUHAMMADIYAH WATES
Jl Jambu 1, Wonosidi Lor, Wates, Kulon Progo,
D.I.Yogyakarta
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Segala sesuatu
diciptakan berpasang-pasangan (QS.Adzariyat 49),begitupun manusia.Karenanya
pernikahan adalah sebuah sunnatullah. Pernikahan adalah langkah awal dalam
membentuk sebuah keluarga yang nantinya membentuk masyarakat.Dalam islam
,pernikahan dimaksudkan untuk menyalurkan hasrat dan memberikan ketentraman
sehingga tercipta rasa kasih sayang antara pasangan. Untuk mewujudkan tujuan
pernikahan tersebut diperlukan kesamaan
pandangan hidup antara pasangan
Kehidupan di
Indonesia,dimana terdapat berbagai etnis,suku,bangsa,budaya dan agama,pergaulan
antar berbagai perbedaan tersebut tidak
dapat dihindarkan.Terlebih saat ini,di tengah arus modernisasi dan
globalisasi.Pernikahan tidak lagi tersekat oleh perbedaan.Bukan jamannya lagi
pernikahan harus sesama suku,sesama etnis atau
sesama daerah.Mengusung hak asasi manusia dan atas nama cinta,berbagai
perbedaan coba di abaikan termasuk didalamnya perbedaan agama
.
Nikah adalah
ikatan (akad) perkawinan yg dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama.Perkawinan antara pria dan wanita sebagaimana dalam pengertian nikah
diatas harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama.Pernikahan atau sering juga disebut dengan perkawinan dalam undang-undang
di Indonesia diserahkan tata cara pelaksanaannya pada agama masing-masing
(undang undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2).Oleh karena ada berbagai
agama di Indonesia,pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda akan terasa
sulit.Setiap agama mempunyai ketentuan sendiri-sendiri mengenai hal ini.Secara
garis besar,semua agama tidak menghendaki pernikahan beda agama.
Namun begitu
pernikahan beda agama,tetap juga terjadi di Indonesia.Sebut saja,Jamal dan
Lydia Kandau,Andri Subono dan Chrisye,Frans dan Amara Lingua dan masih banyak
lagi.Bagaimana islam memandang tentang pernikahan beda agama ini.Bagaimana pula pandangan hukum positif
di Indonesia.Dalam makalah ini penulis coba membahas hal tersebut.
.
B Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
pernikahan beda agama?
2. Bagaimana pernikahan
beda agama menurut hukum islam?
3. Bagaimana pernikahan
beda agama menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A
Pengertian Pernikahan Beda Agama
Perkawinan menurut
hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon
gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakaanya merupakan
ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah. mawaddah warahmah.[1]
Keempat madzab sepakat bahwa pernikahan itu adalah aqad yang menjamin
diperbolehkannya persetubuhan[2]
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha
Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.Pernyataan ini kemudian juga dipertegas dalam KHI pasal 4.Agama dan
kepercayaan yang dimaksud adalah apa yang diakui di Indonesia.
Menurut sebagian besar Ulama’, hukum
asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh
tidak.Namun karena Nabi Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga
bahwa pernikahan itu sunnah.Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi
sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tergantung kondisi orang yang akan menikah
tersebut.
Pernikahan beda agama memang tidak
diatur dalam undang-undang pernikahan
Nomor 1 tahun 1974.Oleh karenanya banyak orang yang kemudian jug
bertanya-tanya tentang bagaimana posisi pernikahan beda agama ini.
Pernikahan beda Agama adalah
pernikahan antar pemeluk agama yang
berbeda.Mereka tetap berpegang teguh pada agama masing-masing.Karena di
Indonesia terdapat bayak agama baik ardhi maupun samawi.Kedua
kondisi itu dapat terjadi,misalnya Islam dengan Katolik,Islam dengan
Hindu,Katolik dengan Protestan,Hindu dengan Budha dan sebagainya.Tentu yang
akan menjadi pokok pembahasan kita adalah pernikahan beda agama yang dilakukan
oleh pria atau wanita muslim dengan pria atau wanita non muslim.
Jadi ,pernikahan beda agama yang
dimaksud adalah pernikahan antara pria atau wanita muslim dengan pria atau
wanita non muslim baik mereka itu musyrik ataupun ahli kitab.
B
Pernikahan Beda Agama Menurut Islam
Pernikahan beda agama disini
dapat dibedakan menjadi dua yaitu
1.
Pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik atau ahli kitab
v Pernikahan pria muslim
dengan wanita musyrik
Dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221,Allah telah jelas melarang orang
pria maupun wanita untuk menikah dengan orang musyrik.
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.
Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan
Kannaz Ibn Hasim Al Ghanawi yang diutus Rasulullah SAW ke Mekah membawa misi.Di
Mekah dia bertemu dengan perempuan bernama Anaz yang sangat dicintainya.Dia
bertanya kepada Rasulullah apakah boleh menikahi Anaz.Beliau berkata bahwa
Kannaz tidak boleh menikahi Anaz sebab
dia musyrik.
Ada lagi sebab turunnya ayat ini sebagaimana
yang disebutkan Abdullah bin Abbas berhubungan dengan kasus Abdullah Ibn
Rawahah.Dia punya seorang budak wanita hitam.Suatu hari dia marah dan
Rasulullah mengetahuinya kemudian bertanya.”Apa yang terjadi wahai Abdullah?”.Abdullah
menjawab”Wahai Rasulullah, dia (budak wanita itu) berpuasa,berdoa,percaya
kepada Allah bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah”.Rasulullah
berkata”Kalau begitu dia seorang yang beriman”.Abdullah berkata”Maka
demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran akau akan
memerdekakannya atau menikahinya”.Setelah Abdullah menikahinya,banyak
muslim yang mencelanya karena mereka lebih suka mengawini wanita musyrik hanya
karena ketinggian keturunannya. [3]
Pemilihan pasangan adalah pondasi awal
pembentukan sebuah bangunan rumah tangga..Ia
harus kukuh karena kalau tidak,akan roboh meski hanya dengan sedikit
goncangan.Pondasi yang kukuh itu bukan kecantikan atau ketampanan,harta dan
kedudukan,tetapi keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa.Oleh karenanya wajar
jika pesan pertama bagi orang yang ingin membentuk rumah tangga adalah Dan
janganlah kamu wahai pria-pria muslim menjalin pernikahan dengan
orang-orang musyrik penyembah berhala.Sesungguhnya wanita budak yang berstatus
rendah dalam pandangan masyarakat tetapi beriman itu lebih baik dari wanita
musyrik walaupun mereka itu lebih cantik,bangsawan dan kaya.Dan jangan pula
para wali menikahkan pria musyrik dengan wanita mukmin sebelum mereka
benar-benar beriman meskipun mereka itu lebih gagah,kaya,bagsawan[4]
Syirik adalah perbuatan menyekutukan sesuatu
dengan sesuatu yang lain.Dalam Islam seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa
ada tuhan bersama Allah atau mereka yang berbuat untuk tujuan ganda kepada
Allah juga kepada yang selainNya.Menurut pandangan ini,orang kristen yang
percaya kepada trinitas juga termasuk dalam golongan orang musyrik . Namun
menurut para pakar Al-Quran,orang musyrik adalah para penyembah berhala
jadi orang kristen bukan termasuk dalam golongan musyrik namun
golongan ahli kitab.[5]
Dikalangan ulama timbul beberapa pendapat
tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dinikahi itu? Menurut Ibnu
jarir al-Thabrani, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi
itu ialah musyrikah dari bangsa arab saja, karena bangsa arab pada saat
turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah
berhala. Maka, menurut pandapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita
musyrik dari bangsa non-arab, seperti wanita China, India, dan Jepang yang
diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk
agama Budha, Hindu, Konhucu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya
akan adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat
dengan ini .
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa
semua musyrikah baik dari bangsa Arab maupun non-Arab selain Ahlul Kitab, yakni
Yahudi (Yudaisme) dan Nasrani (kristen) tidak boleh dikawini. Menurut pendapat
ini bahwa wanita yang bukan Islam, dan bukan pula Yahudi ataupun Kristen tidak
boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu,
Konhucu, Majusi/Zoroaster. Karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan
Yahudi termasuk kategori musyrikah.[6]
v Pernikahan pria muslim
dengan wanita ahli kitab
Kebanyakan
ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul
Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah
ayat 5:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Selain berdasarkan Qur’an surat Al-maidah
ayat 5, juga berdasarkan sunnah Nabi, dimana Nabi pernah kawin dengan wanita
Ahlul Kitab, Yakni Mariah al-Qibtiyah (Nasrani). Demikian pula seorang sahabat
Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan
seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.[7]Usman
bin Affan juga mengawini Na’ilah binti al-Gharamidah seorang wanita beragama
nasrani yang kemudian masuk islam.[8]
Terdapat perbedaan pendapat tentang siapa
yang termasuk ahli kitab.Para ulama sepakat ahli kitab adalah mereka Nasrani
dan Yahudi kemudian terdapat perbedaan
pendapat apakah mereka dari generasi masa lalu,keturunanya atau mereka pada
masa kini,atau mereka yang baru memeluk agama ini.Ada yang menolak Yahudi dan
Nasrani masa kini sebagai ahli kitab.[9]
Dikalangan jumhur ulama yang membolehkan pria
muslim menikah dengan wanita ahli kitab,juga terdapat beberapa pendapat.
§ Sebagian madzab Maliki,Hambali,Syafi’i dan
Hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh
§ Menurut pendapat sebagian
madzab Maliki,Ibnu Qosim Khalil bahwa pwerkawinan itu diperbolehkan secara
mutlak dan ini merupakan pendapat Malik
§ AZ-Zarkasyi (madzab
Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan apabila wanita ahli kitab
itu diharapkan dapat masuk islam.[10]
Meskipun
jumhur ulama membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahli kitab,namun
perlulah kiranya kita renungkan. Larangan pernikahan antar pemeluk agama yang
berbeda ini dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan sakinah dalam keluarga
yang merupakan tujuan pernikahan.Kelanggengan akan tercipta jika terjadi
kesesuaian pandangan hidup.Bagaimana mungkin keharmonisan,sebagaimana tujuan dari
pernikahan itu dapat terjalin jika nilai –nilai yang dianut antara suami dan
istri berbeda atau bahkan saling bertentangan.Jangankan masalah agama masalah
budaya atau pendidikan saja dapat membuat hancurnya pernikahan
Selanjutnya
adalah tentang pendidikan anak.Tidak dapat dipungkiri bahwa anak sangat
terpengaruh oleh pendidikan dari orangtuanya.Tidak dapat dipastikan siapa
diantara kedua orang tuanya yang lebih dominan memberikan pengaruhnya. Jikapun,
pengaruh ayah lebih dominan, keyakina anak tentu juga akan tercampur dengan
keyakinan ibu. Mereka mengajakmu ke neraka dimaksudkan bahwa orang tua
yang non-muslim dapat memberikan keteladan yang salah terhadap anaknya.
Selain itu dalam kaidah fikh,
دَ رْ ءُ الْمَفَا
سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَا لِحِ
menghindari dari kemudaratan harus didahulukan atas mencari/menarik
maslahat (kebaikan).Maka
perlu pertimbangan sebelum seorang pria memutuskan untuk menikah dengan wanita
ahli kitab.Kebolehan menikahi wanita ahli kitab adalah suatu jalan keluar bagi
kebutuhan mendesak saat itu.
Ayat ini ditutup dengan peringatan bagi yang menikahi wanita ahli
kitab jangan sampai mengantar mereka kepada kekufuran.Selain itu ditempatkannya
ayat ini setelah sempurnanya ajaran islam dimaksudkan untuk menunjukan
kesempurnaan islam itu sendiri. Penyebutan wanita mukminah terlebih dahulu
dimaksudkan bahwa wanita mukminah harus didahulukan karena bagaimanapun sangat
mempengaruhi sakinah dan kelanggengan rumah tangga.Tidak dibenarkan
melangsungkan pernikahan mereka yang tidak bisa menampakan kesempurnaan
islam apalagi yang diduga akan
terpengaruh oleh ajaran non islam yang dianut istrinya.[11]
2.
Pernikahan wanita muslim dengan pria musyrik atau ahli kitab.
v Wanita muslim dengan
pria musyrik
Pernikahan
wanita muslim dengan pria musyrik seperti yang tersurat dalam QS Al-Baqarah
ayat 221,jelas tidak boleh.
v Wanita Muslim dengan
pria ahli kitab
Kebolehan
menikahi wanita muslim,ternyata tidak berlaku sebaliknya.Dalam QS Al-Maidah
ayat 5,tidak terdapat penegasan tentang bolehnya pria ahli kitab menikahi
wanita muslim.
Wanita tidak boleh dinikahi pria ahli kitab
karena pria sebagai pemimpin rumah tangga,bisa saja mempengaruhi istrinya sehingga dikhawatirkan adanya paksaan agama
terhadap istrinya.
C
Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Di Indonesia
Perkawinan di
Indonesia diatur dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974. Sebelum UU
No.1/1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober
1975, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan begi berbagai golongan
warga negara dan berbagai daerah tertentu :
1. Bagi orang-orang
indonesia asli yang beragama islam berlaku hukum islam yang telah diresipir
dalam hukum adat [12]
2. Bagi orang asli lainnya
hukum adat
3. Bagi orang asli yanng
beragama Kristen berlaku Huweliks Ordonantie Cristen Indonesia (Stbld.1933
No.74)
4. Bagi orang-orang Timur Asing,
China dan warga negara Indonesia keturunan China berlaku ketentuan-ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan
5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Indonesia keturunan Timur Asing lainnya
tersebut berlaku hukum adat mereka
6. Bagi orang-orang Eropa
dan warga Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Berdasarkan
pasal 6 UU No.1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 ini, dinyatakan tidak berlaku,
termasuk tentang peraturan Perkawinan Campuran.[13]
Undang-undang perkawinan ini mempunyai ciri khas
jika dibandingkan dengan hukum perkawinan sebelumnya.Terutama dengan
undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan
pemerintah kolonial Belanda. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama
sekali dengan agama atau hukum agama. Undang-undang perkawinan yang termaktub
dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya sah tidaknya perkawinan
seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang
perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dan pada Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975
dinyatakan bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat
dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU 1/1974 tidak mengenal
perkawinan beda agama, sehingga perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan.
Adapun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal
20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar-agama adalah bahwa perkawinan antar-agama dapat diterima permohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk
melangsungkan permohonan perkawinan beda agama. Dalam proses perkawinan
antar-agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar-agama dapat
diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama
dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda
agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 UU 1/1974 yang
mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah
bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
berlangsung. Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling
tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di
kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya, perkawinan
antar-agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama
tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan (Soedharyo Soimin,
“Hukum Orang dan Keluarga”, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, dan “Himpunan
Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata”, Jakarta: Sinar Grafika, 1996).[14]
Cara lain yang biasanya ditempuh oleh pasangan beda
agama adalah dengan tunduk pada aturan salah satu agama.Misalnya pernikahan
Dedy Corbuzier dengan Kalina.Mereka menikah secara Islam namun kemudian Dedy
kembali kepada agama semula. Dalam UU No.23/2006 serta aturan-aturan
pelaksanaannya tidak ada larangan keterangan agama dalam KTP berbeda dengan
akta perkawinan.
Adapula yang menurut pada aturan masing-masing
agama.Jadi pernikahan dilakukan dua kali dengan tata cara masing-masing agama
pasangan.Mekipun kemudian timbul pertanyaan pernikahan manakah yang dianggap
sah.Hal ini kembali keaturan agama masing-masing.Menurut Islam sebagaimana
dijabarkan pada pembahasan sebelumnya.
Pada 10 Juni 1990,Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
mendapat legalisasi Pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden (INPRES No.1 Tahun 1991) kepada
Menteri Agama kemudian
ditindak-lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 untuk
digunakan pada instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Pada tanggal 22 Juli
1991 maka secara resmi berlakulah Kompilasi Hukum Islam bagi selurun umat Islam
Indonesia. [15]
Berbicara mengenai otoritas
KHI dalam pemberlakuannya, terdapat perbedaan para ahli hukum, yang dapat
disimpulkan kepada dua kelompok. Kelompok pertama beranggapan bahwa KHI
termasuk ke dalam salah satu hukum tertulis yang bersifat memaksa karenanya ia
termasuk salah satu dari sumber hukum formal di Indonesia, sehingga wajib
diamalkan. Dengan demikian, berhubungan KHI telah melarang perkawinan berbeda
agama, maka perkawinan berbeda agama itu inkonstitusional dan ilegal. Kelompok
kedua berpandangan bahwa KHI tidak termasuk ke dalam salah satu sumber hukum
formal di Indonesia ini karena ia hanya diatur dengan INPRES, sedang INPRES
tidak termasuk bagian dari sumber hukum formal di Indonesia ini. Sejalan dengan
ini, KHI tidak mesti dilaksanakan tetapi hanya anjuran.
Adapun
perkawinan beda agama dalam Kompilasi
Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1.
Pada pasal
40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu salah satunya Seorang wanita yang
tidak beragama Islam
2.
Pasal 44 KHI;
”Seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.”
3.
Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat
dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaf al-din
4.
Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat terjadi
karena alasan atau alasan-alasan:
·
Peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga
Jika dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam batang tubuh Kompilasi
Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak berada dalam satu Bab
tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab larangan kawin,
sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan perkawinan, sementara itu,
pasal 116 KHI berada pada bab putusnya perkawinan.
Sikap KHI
melarang perkawinan berbeda agama terlihat tidak tegas.Pasal 40, 44, dan 61
tidak menghendaki perkawinan berbeda agama. Pasal 116 menyatakan bahwa bagi
pasangan suami istri yang telah menikah, lantas salah seorang di antara mereka
murtad (keluar dari Islam) KHI memberi kesempatan bagi salah satu yang masih
tetap dengan ajaran agama Islam untuk melakukan perceraian bila ternyata mereka
tidak rukun.Hal ini berarti, kalau peralihan agama terjadi dan mereka masih
rukun maka tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
Di Indonesia sebenarnya telah keluar Fatwa dari MUI.Keputusan Majelis
Ulama Indonesia tahun 1980 yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka memfatwakan:
(1) “Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram
hukumnya”. (2) “Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan
muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl Kitâb
terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya
(kerusakannya) lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia
memfatwakan perkawainan tersebut hukumnya haram”. Keharaman itu juga didasari
dengan alasan bahwa para non Muslim tersebut bukan lagi dikategorikan sebagai
ahli kitab, mereka telah berbeda dengan ahli kitab yang asli yang dimaksudkan
oleh Q.S. Al-Ma’idah:5.Demikian pula
Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005
per-tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M tentang haramnya
pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan.
Pernikahan
beda agama juga akan menimbulkan beberapa masalah hukum diantaranya tentang
anak dan waris.Jika islam melarang pernikahan beda agama,maka pernikahan itu
tidak sah.Anak yang dilahirkan adalah hasil perbuatan zina dan hanya ikut nasab ibunya.Sementara,menurut hukum di
Indonesia,anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah yaitu yang
tercatat di KUA atau KCS.Mengenai agama dari anak pernikahan beda agama,orang
tua harus melihat padaUU No 23/2002 tentang perlindungan anak.Sebelum anak
dapat menentukan agamanya,maka agama anak menurut kesepakatan orang tuanya.
Akibat lain
dari pernikahan beda agama adalah tentang masalah warisan.Syarat seseorang bagi
ahli waris dari pewaris islam adalah harus beragama islam.Putusan MA
No.16K/AG/2010,istri non muslim yang ditinggal mati suami muslim tidak termasuk
ahli waris,tetapi mendapat wasiat wajibah dari harta warisan suaminya begitu
pula anaknya.[16]
BAB III
PENUTUP
A
Kesimpulan
Pernikahan beda agama
adalah perkawinan antara orang yang
berbeda agama dan kepercayaannya,pria muslim dengan wanita non muslim baik
musyik atau ahli kitab,wanita muslim dengan pria musyrik atau ahli kitab.
Menurut Islam,pernikahan
antara pria muslim dengan wanita musyrik atau sebaliknya adalah terlarang,tidak
boleh dilakukan berdasarkan QS Al-Baqarah ayat 221.Jumhur ulama telah sepakat
tentang kebolehan pria muslim dengan wanita ahli kitab,namun para ulama berbeda
pendapat tentang siapa yang dimaksud wanita ahli kitab itu.Pernikahan ini juga
membawa konsekunsi yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu.
Di
Indonesia,perkawinan beda agama tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang perkawinan
nomor 1 tahun 1974.Sah tidaknya sebuah perkawinan berdasarkan pada agama
masing-masing.Dalam Islam pernikahan beda agama ini dilarang berdasarkan KHI
dan fatwa MUI.Namun jika pernikahan beda agama ini tetap berlangsung,dengan
cara-cara tertentu dapat dicatatkan di KCS.
B
Saran
1.
Dalam Al-Quran telah jelas bahwa pernikahan beda agama itu
dilarang,hendaknya semua umat islam tunduk dan patuh dengan aturan ini.
2.
Jika dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 telah sinyatakan bahwa
pernikahan sah menurut tata cara agama,maka pemerintah hendaknya konsisten dan
tidak mengakui pernikahan beda agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman .1996.Perkawinan
dalam Syariat Islam. Jakarta:Rineka Cipta
Ali Hasan.1997.Masail Fiqhiyah
al Haditsah pada masalah kotemporer hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo
Cik Hasan Bisri.1999.Kompilasi
Hukum Islam dan peradilan agama, Ciputat:PT.Llogos Wacana Ilmu
Masjfuk Zuhdi. 1997.Masail Fiqhiyah(kapita
Selekta HUkum Islam).Jakarta:TokoGunung Agung
Quraish Shihab. 2009.Tafsir
Al Misbah Vol 1.Jakarta: Lentera hati
[1]
Kompilasi Hukum Islam pasal 2
[2] Ali Hasan,
Mashail Fiqhiyah al Haditsah pada masalah kotemporer hukum islam,
( Jakarta:Raja Grafindo,1997) , h.1
[3]
Abdul Rahman , Perkawinan dalam Syariat Islam.(Jakarta:Rineka Cipta,
1996 ),h.31
[4]
Quraish Shihab,Tafsir Al Misbah Vol 1. (Jakarta:Lentera Hati ,2009) ,h.576-577
[5]Hal
ini akan dibahas lebih lanjut dalam pernikahan pria muslim dengan wanita ahli
kitab.
[6]
Masjfuk Zuhdi,Mashail Fiqh, (Jakarta:Toko Gunung Agung,1997),h.4-5
[7]
Ibid,
[8]
Ali Hasan,op. cit, h.12
[9]
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Vol 3, (Jakarta: Lentera hati ,2009) h.35
[10]
Ali Hasan,op.cit ,h.13
[11]
Quraish Shihab,Tafsir Al Misbah Vol 3, op. cit,h. 37
[12]
Menurut teori resepsi Snouck Hurgronce, bahwa yang berlaku di Indonesia adalah
hukum adat asli. Hukum Islam memang mempunyai pengaruh dalam hukum adat, tetapi
baru mempunyai kekuatan hukum, kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.
[13]
Masjfuk Zuhdi, op. cit, h.1-2
[14]
www.hukumonline.com diakses 21
september 2013
[15]
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan peradilan agama,
(Ciputat:PT.Llogos Wacana Ilmu, 1999) h.1
[16]
www.kaskus.co.id,diakses tanggal
21 september 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar